Nasihat Syaikh Ali Hasan Al-Halabi untuk Para Pendukung Paham Takfir
Bersama Pemateri :
Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi
Nasihat oleh: Syaikh Ali Hasan Al-Halabi
Nasehat sekaligus penjelasan terhadap pemutarbalikan fakta yang disebarkan beberapa media online terhadap apa yang terjadi di LP Nusakambangan.
Semoga bermanfaat.
Biografi Syaikh Ali Hasan Al-Halabi (Ditulis oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc.)
Syaikh ‘Ali Hasan Bin ‘Abdul Hamid Al-Halabi adalah seorang ulama Ahlus Sunnah dari Yordania, salah satu dari murid Syaikh Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Beliau diundang berkunjung ke Indonesia, terhitung dari tanggal 7-14 Desember 2013 bersama 2 undangan lainnya dari Mesir oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM untuk memberikan pencerahan kepada narapidana kasus terorisme dari mereka yang memiliki syubhat pemikiran takfir (pengkafiran tanpa ilmu).
Tetapi sungguh sangat disayangkan, kedatangan beliau membuat para pendukung pemahaman takfir ini membuat tuduhan-tuduhan keji terhadap beliau melalui media online yang mereka miliki, di antara tuduhan keji mereka adalah: Syaikh adalah seorang Murji’ah, Syaikh sudah ditahdzir oleh Komisi Fatwa (Lajnah Daimah) Saudi Arabia, dan tuduhan-tuduhan lain dalam rangka mendiskreditkan beliau agar manusia lari dan tidak menerima nasihatnya yang penuh dengan manfaat.
Benarkah Syaikh Ali Al-Halabi Seorang Murji’ah?
Ini adalah tuduhan keji dari kaum takfiriyyin terhadap beliau agar pemahaman takfir mereka bisa leluasa menyebar di tengah-tengah umat. Sebenarnya tidak aneh kalau Syaikh ‘Ali Hasan dituduh dengan tuduhan keji tersebut, karena guru beliau yaitu Syaikh Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani pernah dituduh murji’ah, sehingga Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Orang yang menuduh Syaikh Albani murji’ah telah melakukan kesalahan, bisa jadi dia adalah orang yang tidak kenal dengan Albani (atau) bisa jadi dia tidak mengerti Murji’ah. Tuduhan tersebut tidak benar sama sekali, beliau bukanlah seorang Murji’ah, tidaklah beliau berbicara melainkan dengan apa yang diyakini oleh Salaf Shalih, perhatikanlah perkataan Syaikh Al-Albani rahimahullah ketika menjawab pertanyaan Syaikh Abu Hammam As-Salafi tentang sebagian dari para penulis yang menyifati beliau, bahwa Syaikh ‘Ali Hasan berkata dengan perkataan Murji’ah, dibangun di atas hal ini maka beliau disebut sebagai Mubtadi’ (Ahlul Bid’ah).
Syaikh Albani rahimahullah menjawab, “Kami tidak berkata bahwa seseorang di antara kita bisa lepas dari kesalahan dan kealpaan, sifat maksum hanya dimiliki oleh para Nabi dan Rasul saja. Akan tetapi saya katakan tentang hubungannya dengan masalah Aqidah bahwa kami tidak mengetahui sesuatu keburukan padanya. Medan tuduhan sangatlah luas, oleh karena itu kami berkata, “Semoga Allah mengampuni orang yang berkata dengan sesuatu yang berbeda dari apa yang diyakini tentang saudaranya se-Islam.” Saudara kami (‘Ali Hasan Al-Halabi) bukan Murji’ah, dan tidaklah beliau berkata melainkan sesuai dengan apa yang diyakini oleh Salaf Shalih. Orang yang menuduhnya dengan tuduhan tersebut, minimalnya dia telah melampaui (menyelisihi) adab Islam. Akan tetapi saya khawatir perkaranya lebih parah dan lebih berbahaya dari hal tersebut, yaitu menisbatkan kepadanya sebuah keyakinan yang dia berlepas diri darinya sebagaimana halnya “serigala (yang tidak tahu-menahu) berlepas diri dari darah putra Ya’kub” (perumpamaan masa lalu untuk tuduhan yang tidak sesuai dengan kenyataan) …” (Al-Hujjatul Qaimah, hal. 27-28)
Adapun fatwa Lajnah Daimah tentang tahdzir terhadap 2 kitab Syaikh ‘Ali Hasan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin pernah berkata:
“Ini merupakan kesalahan Lajnah, saya menyayangkan fatwa tersebut, sesungguhnya fatwa tersebut telah memecah belah kaum muslimin di berbagai penjuru dunia, sampai (kaum muslimin) dari Amerika dan Eropa telah menghubungiku. Tidak ada yang mengambil faedah dari fatwa ini melainkan TAKFIRIYYUN DAN PARA PEMBERONTAK.” (Al-Hujjatul Qaimah, hal. 25)
Syaikh Dr. Husain bin ‘Abdul ‘Aziz Ali Syaikh berkata, “Sesungguhnya fatwa Lajnah tidak disebutkan padanya pernyataan mereka (para ulama) bahwa Syaikh ‘Ali adalah seorang Murji’ah, sama sekali tidak, mereka tidak berkata demikian, mereka berbicara (mendiskusikan) tentang sebuah kitab, dan tidaklah dialog di antara salaf melainkan bagian dari lawazim cinta mengenal Sunnah dan dalam rangka menjaganya, tetapi hanya mendiskusikan tentang satu bagian dari kitab tersebut. Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ali Syaikh (Mufti Biladil Haramain) adalah orang yang mencintai Syaikh ‘Ali, saya mengetahui hal itu, bahkan menghormatinya, mendoakannya, sampai setelah pertemuan Syaiikh ‘Ali dengan Samahatusy Syaikh (Mufti Saudi). Seandainya kita sepakat di atas hawa nafsu, niscaya kita semua keluar, akan tetapi ini merupakan kelaziman, dan kecintaan yang benar, kejujuran, dan saling menasehati. Adapun orang-orang lain yang membawa fatwa Lajnah senang dengan sesuatu yang bisa mendukung mereka (yang sesuai dengan hawa nafsu mereka), dan tidak mengambil hal-hal yang bertentangan dengan mereka, maka ini adalah kebiasaan Ahlul Bid’ah.” (Al-Hujjatul Qaimah, hal. 143-144)
Bahayanya Pemahaman Takfir
Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Ali Syaikh hafidzhahullah berkata, “Seluruh penyimpangan yang terjadi pada hari ini, anda lihat sebabnya adalah terkait masalah berhukum dengan selain hukum Allah, seluruh penyimpangan Islam, jama’ah-jama’ah Islamiyah, jama’ah jihad, jama’ah takfir … pengeboman, pengkafiran negeri-negeri, semuanya menyangkut masalah hukum.” (Al-Hujjatul Qaimah fii Nushrati Al-Lajnah Ad-Daimah, hal. 110-111)
Inilah terjemahan nasehat Syaikh ‘Ali Hasan Al-Halabi pada hari sabtu 10 Shafar 1435 H bertepatan dengan 14 Desember 2013 M:
الحَمْدُ لِلَّهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَام عَلَى رَسُولِ اللهِ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحبِهِ وَ مَن وَالَاه وَاتَّبَعَ هُدَاهُ إِلَى يَوم نَلقَاهُ , أمَّا بَعْدُ
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr [103]: 1-3)
Ayat-ayat yang mulia ini, walaupun datang dengan lafadzh khabas, akan tetapi ada padanya bimbingan yang agung sekali, bagi kaum mu’minin dan muslimin untuk saling nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.
Gambaran yang paling tinggi dan bentuk yang paling indah bagi Al-Haq adalah Al-Kitab dan As-Sunnah, keduanya merupakan pokok dan asas yang wajib dengannya bagi manusia untuk saling nasihat-menasihati.
Walaupun kebenaran itu datang dari musuh Anda, maka hukum asalnya adalah wajib untuk Anda terima. Karena wajib atas setiap muslim untuk tunduk terhadap hujjah, mengikuti dan meninggalkan selainnya, ya (betul) kita mengetahui bahwa di sana ada penghalang-penghalang yang mencegah (manusia) untuk menerima kebenaran. Di antaranya: Su’u dzhan (buruk sangka) terhadap manusia, jika anda berburuk sangka terhadap salah satu dari manusia, maka hal ini akan mengahalangi Anda dari menerima kebenaran yang ada padanya.
Di antaranya juga adalah kesombongan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الكِبْرُ بَطَرُ الحَقِّ وَ غَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
Di antara penghalang: Melihat kepada para pengikut,
Di antara penghalang: Hubbur riasah (suka untuk menjadi pemimpin),
Di antara penghalang: Takut mendapatkan perkataan yang buruk dari manusia,
Di antara penghalang: Membenarkan isu-isu atau kedustaan-kedustaan yang mendukung atau yang menentang.
Hal ini semuanya atau sebagiannya wajib untuk tidak membuat seorang muslim menghalanginya dari kebenaran, apalagi menolak kebenaran tersebut, dan inilah makna dari FirmanNya Ta’ala:
… وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (العصر: ٣)
“… Saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr [103]: 3)
Dan dalam ayat lain:
… وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ (البلد: ١٧)
“Dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (Q.S. Al-Balad [90]: 17)
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan taufikNya kepada kami untuk bisa berkunjung beberapa kali ke negeri Indonesia ini, dan ini merupakan kunjungan yang ke-15, sejak hampir 15 tahun (yang lalu). Dalam kunjungan-kunjungan ini semuanya dalam rangka mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengajarkan mereka Aqidah yang lurus, mengajarkan manhaj yang haq, semua itu dalam rangka saling nasehat-menasehati untuk mentaati kebenaran, untuk menetapi kebenaran dan untuk saling berkasih sayang.
Kaum Muslimin semuanya merupakan kesatuan. Orang yang rendah dari mereka, memiliki urusan yang sama seperti orang yang lebih mulia darinya. Masalah-masalah yang dihadapi kaum muslimin juga sama. Negeri mereka satu, walaupun saling berjauhan, sebagaimana Aqidah, Ilah (sesembahan), Nabi, Al-Qur’an, dan kiblat mereka juga satu.
Oleh karena itu pada kunjungan kali ini, (didasari) dengan datangnya saudara-saudara yang mulia (dari Indonesia), mereka berkata kepada kami, “Kami akan membuka kesempatan kepada Anda untuk berdialog dengan sebagian pemuda Muslim yang terpengaruh dengan sebagian dari pemikiran-pemikiran yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah.” Hal tersebut membuat kami senang dan gembira, karena ini merupakan bentuk dari apa yang telah kami sebutkan, yakni saling nasihat-menasihati untuk mentaati kebenaran dan saling berpesan untuk menetapi kesabaran.
Dengan selalu mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
لَا يَهْدِي اللهُ بِكَ رجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ عُمرِ النِّعَم
“Allah memberikan hidayah dengan perantaraan Anda kepada seseorang, maka hal itu lebih baik dari unta merah.”
Di sela-sela perkenalan dan komunikasi yang terjalin tersebut adalah dimudahkannya bagi kami –walhamdulillah– untuk berjumpa dengan sekelompok saudara-saudara (kami) tersebut (yakni para napi di Nusa Kambangan).
Saya katakan mereka adalah saudara walaupun menyelisihi kami dalam Manhaj dan Aqidah, karena persaudaraan Islam-lah yang mengumpulkan kita, kami merasa sayang dan belas kasihan terhadap mereka, kami menginginkan kebaikan untuk mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُم حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah salah satu di antara kalian dikatakan sempurna keimanannya sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”
Saya berkata Walhamdulillah, bahwa kami mendapati dari kebanyakan pemuda-pemuda yang bermajelis dengan kami, akhlak yang baik, antusias terhadap kebaikan, menerima kebenaran, serta interaksi (yang baik) dalam berdialog, yang menunjukkan jiwa-jiwa mereka yang baik dan bagus, (tetapi) sedikit dari mereka menempuh cara yang menyelisihi (menyimpang) dari cara tersebut, tidak mau duduk dan tidak mau menerima, maka baginya adalah jauhnya (dia) dari bermajelis dan tidak ada keridhaan dengannya.
Sebagian (kelompok ini) dari yang menolak diskusi dan dialog, menyampaikan kalimat-kalimat yang singkat yang kemudian membuatnya meninggalkan majelis, bahkan maaf kalau saya katakan “lari dari majelis”, kalimat-kalimat yang disampaikan olehnya adalah hanya syubhat-syubhat yang lemah.
Adapun poin yang pertama: Dia berkata, “Kami ingin berdebat dan tidak menginginkan ceramah”
Padahal tentang hal ini sudah saya katakan sebelumnya pada majelis, dan telah saya ulang beberapa kali, akan tetapi saya (dalam majelis tersebut) menyampaikan beberapa patah kata tidak lebih dari 10 menit yang dengannya saya ingin melembutkan (mendinginkan) suasana dan ingin melunakkan hati, sama sekali belum masuk pada dialog tentang masalah-masalah ini, dan ternyata (kemudian tiba-tiba saya dikejutkan) dengan penukilannya terhadap pernyataan saya, yang berbeda dengan apa yang saya maksud dan berbeda dengan fakta yang ada.
Poin kedua: Dia beralasan dengan sesuatu yang sangat aneh, pada saat itu (di majelis) tersebut saudara-saudara yang lain dalam keadaan duduk di atas lantai, di sana juga hadir sebagian orang yang terpandang di masyarakat di tengah-tengah manusia, mereka juga duduk di atas lantai. DI AWAL MAJELIS, saya meminta izin kepada yang memiliki tempat, untuk menghadirkan sebuah kursi agar saya bisa duduk di atasnya, dengan alasan kalau banyak duduk di atas lantai, 2 kaki saya sakit, dan saya ulang permintaan izin ini kepada saudara-saudara (yang hadir saat itu) semua sampai 2 kali.
Tiba-tiba penyanggah ini berkata, “Anda duduk di atas kursi seperti layaknya seorang raja, anda berdialog dengan kami di atas kursi seperti raja.”
Maka saya jawab, “Alangkah buruknya suudzan ini, seandainya saya langsung duduk pertama kali di atas kursi tanpa izin (‘udzur), maka tidak boleh bagi Anda berburuk sangka, bagaimana halnya dengan ‘udzur dan izin yang telah saya minta 2 atau bahkan 3 kali?”
(Poin ketiga:)
Kemudian dia berkata, “Anda datang dari utusan pemerintah.”
Saya jawab, “Apa masalahnya? Apakah kita mampu masuk ke Indonesia tanpa visa dan tanpa persetujuan dari pemerintah? Dan anda (sekarang), berada di tempat anda, bukankah atas persetujuan dari pemerintah? Anda makan, minum, ada listrik dan air, bukankah semua itu atas persetujuan pemerintah? Atau apakah boleh bagi Anda dan tidak boleh bagi orang lain?”
Tidak penting bagi Anda, wahai saudaraku Muslim, Anda berkata orang ini atau orang itu dari pemerintah atau bukan dari pemerintah, yang penting adalah Anda lihat apa yang dia bawa dari kebenaran, yang penting Anda lihat perkataannya apakah sesuai dengan kebenaran yang kemudian Anda terima, atau justru menyelisihi kebenaran yang kemudian Anda tolak.
Jika datang kepada Anda kebenaran dari musuh, wajib untuk Anda terima, dan jika datang kebatilan dari teman tercinta wajib untuk ditolak. Adapun bersandar pada syubhat-syubhat yang lemah, yakni apakah Anda datang dari pemerintah atau bukan dari pemerintah, ini merupakan syubhat yang rusak, yang tidak memiliki dasar baik dalam Al-Qur’an dan Sunnah begitu juga menurut akhlaq, dan saya tidak memandangnya melainkan bergantung pada tali dan sebab (alasan) yang paling lemah.
Kemudian di antara yang dia katakan dan ini barangkali merupakan poin yang keempat dan bisa jadi poin yang terakhir dari apa yang disebutkan, karena pada hakikatnya, saya belum mengingat (seluruh) perkataannya, dan saya kira ini cukup sempurna dari apa yang telah diucapkannya.
Dia berkata (poin ke-4), “Lajnah Daimah telah mentahdzir Anda.” Bersamaan dengan ucapan dia ini, terjadi tanaqud (pertentangan) setelahnya dengan ucapan dia sendiri secara langsung, di mana dia berkata, “Saya tidak percaya dengan Lajnah Daimah” atau ucapan yang semakna dengan ini.
(Saya katakan), “Jika Anda tidak percaya dengannya (yakni dengan Lajnah Daimah) mengapa Anda berdalil dengan perkataannya (fatwanya)??? Jika saya katakan Anda percaya, kemudian Anda berdalil dengan fatwanya, dan Anda percaya dengannya, pertanyaannya: Apakah dia (Lajnah) berada di atas kebenaran pada seluruh pernyataannya di setiap zaman dan tempat? Atau apakah ia –atas keutamaan dari ulama dan masyayikhnya- merupakan Lajnah dari (sejumlah) manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar?”
Kami bersama penghormatan kami terhadap Masyayikh yang empat dalam Lajnah Daimah, begitu juga sebelum mereka dari Imam yang empat semuanya bisa salah dan bisa benar, akan tetapi perbedaan antara pandangan kami dan pandangan mereka terhadap Lajnah Daimah yang mulia ini adalah bahwa pada dasarnya Lajnah Daimah dibangun di atas ilmu dan kebenaran dan dibangun di atas Sunnah, tetapi cara pandang mereka ini terhadap Lajnah Daimah adalah berburuk sangka terhadapnya, pandangan tasykik (membuat keraguan terhadap mereka) dan tasyakkuk (pandangan keraguan), ini saja sudah cukup untuk menunjukkan perbedaan antara kami dengan mereka.
Dan sungguh pada saat itu juga saya menjawabnya bahwa Lajnah Daimah telah mentahdzir 2 kitab dari kitab-kitabku dan itu pun pada 6 tempat (poin) dan 6 poin tersebut secara global (tertulis) pada satu setengah halaman, dan saya berkata, “Apakah Anda sudah membaca bantahan saya terhadap Lajnah lebih dari 1300 halaman?”
Dia menjawab, “Saya belum membacanya,” kemudian dia berkata setelahnya, “Anda belum rujuk (dari pendapat Anda)?”
Saya jawab, “Saya tidak rujuk, karena saya meyakini saya benar,” dan saya katakan sekarang, dan sebenarnya sudah saya katakan di majelis tersebut tetapi dengan cepat, secara pengamalan, (ketahuilah) justru Lajnah yang rujuk (dari pernyataannya), secara khusus 2 (dua) Syaikh yang mulia yaitu Al-Mufti Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ali Syaikh dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan. Kedua Syaikh yang mulia tersebut telah menulis muqaddimah bagi risalah Magister dengan judul “Al-Jarimatu wa Shilatuha bi Musykilati At Takfir” (yang dimaksud beliau adalah “Shilatul Ghuluwwi fit-Takfir bil Jarimah“), buah karya dari penulis yang mulia dari muridnya yang bernama ‘Abdussalam As-Sulaiman.
Poin yang paling penting yang mereka kritik dalam kitabku, telah disebutkan oleh penulis tersebut pada kitabnya tentang masalah tahdzir (peringatan) dari fitnah pengkafiran terhadap hukkaam (penguasa), dan tentang penjelasan bahwa kafir itu terbagi 2 bagian, dan menukil kalam dari sebagian Aimmatul ‘Ilmi (para ulama) tentang hal tersebut, semisal Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyyah. Inilah perkara yang paling penting yang dikritik oleh Lajnah dalam fatwa tersebut.
Bahkan penulis, ‘Abdussalam As-Sulaiman, telah menukil dalam kitabnya dari kitab saya yang berjudul “At-Tahdzir min Fitnati At-Takfir“, padahal kitab tersebut, kitab yang ditahdzir sebagian tempatnya oleh Lajnah. Dan kitab buah karya Al-Akh As-Sulaiman ini muncul 5 tahun setelah keluarnya fatwa Lajnah.
Tentunya saya ucapkan perkataan ini secara ringkas, kemudian dia pergi (pergi meninggalkan majelis).
Saya berkata, “Hadza jahlun (ini merupakan kebodohan), duduklah dan berdialoglah!”
Tetapi (sayangnya) dia menukil perkataanku bahwa saya berkata “Anda bodoh”.
Saya katakan (sekarang): Orang yang menolak dialog dan beralasan dengan syubhat-syubhat yang lemah, ini betul-betul bodoh, walaupun saya tidak menyifatinya (saat itu) bahwa dia itu bodoh di tempat itu, maka sekarang saya menyifatinya dia itu bodoh.
Dan berikutnya, perkara ini harus dilihat dari 2 sisi:
Pertama: Kata jahl (kebodohan) dan jahil (orang bodoh) dari sisi asal kata
Kedua: Orang yang berpaling dari menerima kebenaran dan menolak dialog, maka
betul-betul ia itu orang bodoh, sekiranya dia punya ilmu, dan saya tidak betul berkata dia orang ‘alim, niscaya dia mau menerima dialog dan duduk.
Kemudian anehnya, dia bangun perubahannya terhadap perkataannku kepada hal yang lebih dahsyat dan lebih pahit.
Dia berkata, “Apakah ini merupakan akhlaqnya para Syaikh?” (Sambil) berkata kepadaku, “Wahai orang bodoh”.
Saya jawab, “Ya, ini akhlaqnya para Syaikh, bahkan ini akhlaq Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, telah tsabit dalam Sunnah yang shahih bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah duduk bersama para sahabat pada sebuah majelis, salah satu sahabat bertanya tentang buah-buah Surga, bagaimana keluarnya dari pepohonan surga? Maka sahabat yang sedang duduk tertawa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kenapa kalian tertawa? (Apakah kalian tertawa) karena orang bodoh bertanya kepada ‘alim?” Lafadz ini telah diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau lebih baik dari saya di tengah-tengah (sahabat), orang-orang yang lebih baik dari dia (Aman Abdurrahman). Akan tetapi, ini merupakan musibahnya para pengikut hawa nafsu, secara khusus jika mereka adalah orang-orang yang bodoh, lebih khusus lagi para pemimpinnya.
Anehnya saat dia mengingkari perkataanku atas perkataan jahilnya dengan tanpa hak, dia menuduh saya bahwa saya adalah ‘amiil (antek-antek) pemerintah, (saya bertanya): “Apakah ini adalah akhlaqnya Muslim?” Saya tidak berkata akhlaqnya para Syaikh, “Apakah ini akhlaqnya Muslim menuduhku antek-antek?” Tuduhan yang tersirat makna pengkhianatan. Oleh karena itu, saya katakan, hikayat dari firyah (pengada-adaan) ini cukup bagiku untuk membantah, membatalkan, dan mendiskusikannya.
Ini adalah gambaran global dari apa yang telah terjadi bersama orang ini (Aman Abdurrahman) yang lari dari dialog, atau berusaha melarikan diri (dari dialog).
Dan gambaran global dari apa yang ditulis di sebagian situs-situs Internet dari persaksian dan riwayat-riwayatnya yang terjadi di antara kita pada majelis tersebut.
Dia, sebagaimana telah melakukan kebatilan pada hal pertama, telah melakukan kebatilan juga pada hal yang kedua, walaupun demikian saya berkata kepada ikhwah (saudara-saudara) Indonesia semuanya, sesungguhnya cela yang ada pada orang ini, tidak berpengaruh sama sekali terhadap diri saya dan pandangan saya terhadap yang lainnya dari yang bermajelis yang jumlahnya lebih banyak dan lebih utama dari dia. Sebagaimana yang sudah saya katakan, saya tidak jumpai (dari mereka) melainkan mencari ilmu dan mencari kebenaran, interaksi yang baik dengan kebenaran, berdiri bersama dalil, kebaikan jiwa (mereka), yang berbeda dengan orang yang sombong ini, walaupun demikian, demi Allah saya berharap kebaikan baginya, saya berdo’a kepada Allah Ta’ala agar memberikan hidayah kepada kami dan dia kepada kebenaran. Tidak ada di antara kita, satu pun yang lebih berhak dengan kebenaran daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak ada salah satu di antara kita yang lebih jauh (darinya) daripada ahlul batil dari orang-orang Quraisy Watsaniyyah para penyembah berhala, walaupun demikian Allah perintahkan NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((إِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ))
“sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata”
Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء … (آل عمران: ٦٤)
“Katakanlah (Muhammad), Wahai ahli kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama …” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 64)
Mudah-mudahan kalimat yang saya ucapkan di majelis yang diberkahi ini, di pagi hari yang baik ini, sampai kepada saudara ini (Aman Abdurrahman), atau sampai kepada pengikutnya, atau sahabat-sahabatnya yang saya kira mereka lebih baik darinya, untuk menyampaikan kepadanya kebaikan ini, untuk menyampaikan antusias ini, untuk menyampaikan ajakan, sekali lagi untuk bermajelis pada kunjungan di lain waktu untuk sama-sama saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran.
Adapun berusaha lari dari majelis pertemuan, kemudian bersembunyi di belakang syubhat-syubhat yang lemah dan kalimat-kalimat yang kosong, maka ini sebuah hal yang saya tidak ridha / rela untuk diri saya dan untuk saudaraku, walaupun saya menyelisihinya dan dia menyelisihi saya. Dan terakhir, tidak saya ucapkan kecuali dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita, “Yaa Allah, Rabb Jibrail, Mikail, dan Israfil, berikanlah petunjuk kepada kami dari perselisihan kepada al-haq dengan izinMu, sesungguhnya Engkau memberikan hidayah kepada siapa saja yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.”
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّد وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِين
Pertanyaan dan Jawaban
Pertanyaan 1:
Di antara syubhat takfiriyyin, Indonesia tidak berhukum dengan hukum Allah. Oleh karena itu, Indonesia adalah Negara kafir. Apa pendapat Syaikh?
Jawaban:
Ini adalah perkataan yang bathil, yang Allah tidak menurunkan hujjah tentangnya, permasalahan negeri Kafir atau negeri Islam merupakan permasalahan fiqh, yang diperbincangkan oleh ulama mutaakhirin, tidak satu pun dari mereka yang memiliki dalil, tetapi ia merupakan hasil ijtihad-ijtihad dan pendapat-pendapat (semata).
Seandainya kita bertanya kepada orang yng memiliki pendapat ini yang hanya sekedar berpegang kepada hawa nafsu dan kesewenang-wenangan, apa dalilnya Anda menghukuminya demikian? (Alasannya) karena ia berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan.
Ya, kita mengagungkan hukum Allah, kita berpendapat bahwa hal itu merupakan kewajiban dan merupakan perkara syari’at yang penting. Tetapi (sayangnya) yang tergambar (pada pikiran mereka) bahwa berhukum dengan selain hukum Allah hanya pada masalah huddud (undang-undang hukum had), mereka lupa shalat, puasa, zakat, dan haji, padahal ini semuanya ada di negeri ini.
Semuanya terjaga oleh rakyat dan penguasanya, seperti pada negeri-negeri yang lainnya dari negeri kaum Muslimin.
Kita tidak mengetahui satu pun negeri Islam yang memerangi shalat, melarang masjid-masjid, melarang zakat, memerangi puasa, atau melarang haji. Dan mungkin kalian mengetahui, bahwa negeri ini adalah negeri yang terbesar untuk jama’ah haji daripada negeri-negeri yang lainnya dari negeri-negeri kaum Muslimin. Pemerintah langsung yang mengaturnya, memepersiapkannya, dan mengawasinya, tentunya hal ini tidak menafikan dari kesalahan yang ada. Tetapi berbeda antara kita katakan kafir, dengan kita katakan ada kekurangan dan maksiat padanya, sebagaimana halnya dengan individu Muslim padanya ada ketaatan dan kemaksiatan, maka begitu juga dengan lembaga pemerintah, yayasan yang memiliki kesalahan dan ketaatan. Yang berkata bahwa negeri ini kafir tidak punya dalil melainkan hanya ra’yu (pendapat) semata.
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika ditanya tentang negeri Maridin, negeri yang hukum di dalamnya bukan hukum Islam, dan penduduknya Muslim, beliau tidak menyatakan bahwa negeri tersebut negeri kafir, tetapi beliau berkata negeri ini murakkab, dan hasilnya tetap beliau menganggapnya dengan Dar Islamiyah (negeri Islam). Ini adalah jawaban sangat singkat dan cepat terhadap syubhat yang lemah ini.
Pertanyaan:
Apa makna firman Allah Ta’ala:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور: ٥٥)
“Allah telah menjanjikan orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembahKu, dengan tidak mempersekutukanKu dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nur [24]: 55)
Jawaban:
Makna ayat ini adalah seperti makna dari ayat yang mulia:
… نَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ … (الرعد: ١١)
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’du [13]: 11)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji kepada kaum mukminin dan orang-orang yang beribadah dengan ibadah yang benar, dengan kedudukan yang tinggi di atas muka bumi, kekokohan dan keamanan. Ini juga seperti apa yang Allah sifatkan dalam nash yang lain:
الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ … (الحج: ٤١)
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami berikan kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat …” [Q.S. Al-Hajj [22]: 41)
Oleh karena itu, hal ini merupakan karunia dan taufik dari Allah, (kebaikan-kebaikan dari janji Allah tersebut) tidak dicapai dengan cara berkhianat, membunuh orang-orang buta, mengebom, mengkhianati perjanjian, dan tidak juga dengan cara membunuh kaum Muslimin.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hancurnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seseorang di bumi.”
Pertanyaan:
Allah Ta’ala berfirman:
… وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة: ٤٤)
Bukankah ini merupakan nash akan kafirnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah?
Jawaban:
Saya jawab: Bisa ya, bisa juga tidak. Adapun jawaban ya, karena pada ayat tersebut ada lafadz “kufur”, adapun jawaban tidak, hal ini karena 2 alasan.
Pertama: kufur (kekafiran) itu terbagi 2 jenis, yaitu: (1.) kekafiran yang mengeluarkan (seseorang) dari agama dan (2.) kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama.
Kedua: Bahwa pengkhususan ayat tersebut kepada para pemimpin (penguasa) adalah batil, ayat tersebut umum tentang seluruh orang (atau siapa saja) yang berhukum dan mencakup seluruh hukum, (jadi) pengkhususannya terhadap penguasa adalah batil, lafadz (مَا dan مِن) adalah huruf dari bahasa arab yang memiliki arti umum.
Pertanyaan:
Apakah benar pembagian ulama kepada ulama jihadi dan ulama kitab?
Jawaban:
Ini adalah pembagian yang batil. Ulama adalah ulama. Waktu untuk ilmu dan kitab maka itulah waktu ilmu dan kitab. Waktu jihad dan memerangi musuh maka waktu itu digunakan untuk berjihad dan memerangi musuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ia berada di depan (kaum Muslimin) ketika memerangi pasukan Tartar, dan beliau adalah orang yang paling banyak menulis kitab-kitab bantahan terhadap Firqah Jahmiyah, Mu’tazilah, dan lainnya dari firqah-firqah sesat.
Akan tetapi, sebagian manusia dikarenakan mereka tidak memahami jihad dengan pemahaman yang benar, telah membagi ulama dengan dasar pandangannya yang batil ini. Kalau betul-betul sebagai ulama niscaya paling mengetahui tentang waktu jihad dan waktu kitab.
Akan tetapi, yang diinginkan dari pembagian ini adalah memberikan TASYKIK (keragu-raguan) terhadap ulama (yang mereka sebut) dengan ulama kitab, kemudian mereka menyifati orang-orang yang bukan ulama dengan sebutan ulama jihadi dengan dasar hanya semata-mata sama dalam pandangan keliru mereka tentang masalah jihad.
Seandainya kita bertanya kepada mereka, sebutkanlah oleh kalian ulama-ulama jihadi kalian, niscaya mereka tidak akan sanggup menjawabnya. Tetapi kalau kita ditanya tentang ulama-ulama yang sejalan dengan kita, yang mereka membuat keraguan tentangnya dengan menyebutnya sebagai ulama kitab, niscaya kita jawab dengan penuh kejelasan dan ketegasan, mereka adalah Syaikh Al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, dan Syaikh Shalih Al-Fauzan, mereka semua adalah ulama yang berada di atas ilmu yang bisa kita ambil atau tolak, sebagaimana perkataan Imam Malik rahimahullah: “Tidak ada di antara kita melainkan pendapatnya bisa diterima atau ditolak kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Pertanyaan:
Mohon nasihat, sejatinya manhaj Salaf dalam melihat penyimpangan terhadap para pemimpin sehingga tidak salah.
Jawaban:
Sikap kita dalam menghadapi kesalahan-kesalahan para pemimpin menurut manhaj Salaf terbangun di atas 2 perkara:
1. Menasehati mereka secara sembunyi-sembunyi dalam hal yang kita sanggup, mendoakan agar mereka menjadi baik, dan hendaknya kita menjadi da’i-da’i yang sukses di masyarakat, sehingga masyarakat yang baik akan membantu mereka untuk menegakkan syari’at.
2. Adapun melawan mereka, mencela mereka, memerangi mereka, merampas dan mengebom, hal ini tidaklah memberikan kepada mereka melainkan keburukan dan akan menambah kerusakan pada masyarakat.
Pertanyaan:
Jihad apa yang paling utama di zaman ini? Sebagian pemuda salafiyyin berkata: “Kami berada di atas manhaj Salaf akan tetapi tidak mempraktekkan jihad seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam“?
Jawaban:
Mereka yang berkata demikian tidak memahami manhaj Salaf, tidak mengetahui hakikat tentang sikap-sikap ulama kita yang Rabbani dalam memahami jihad. Jawaban tentang hal ini, saya balik bertanya, apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika di fase Mekkah memerangi orang kafir? Tentu jawabannya tidak, pertanyaannya, mengapa tidak memerangi mereka?
Ada satu jawaban tentang hal ini, yaitu Nabi dan para sahabatnya saat itu masih lemah. Setiap orang yang berakal tahu, bahwa keadaan kita dewasa ini sejak beberapa abad yang lalu, dalam keadaan lemah, bahkan lebih lemah daripada fase Mekkah ketika Nabi hidup.
Sebagaimana dikatakan bahwa timbangan kekuatan (antara 2 kelompok) saat itu tidak jauh berbeda, yakni ada kuda, pedang, pisau, batu, dan pepohonan. Berbeda halnya dengan sekarang ini, ada bom, senjata kimia, pesawat-pesawat tempur, pasukan yang canggih, di mana pasukan kaum Muslimin tidak memiliki kekuatan walaupun sepersepuluh dari kekuatan kafir. Di sini, wajib diketahui tentangsesuatu yang penting sekali, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berjihad melainkan setelah adanya daulah, dan sebelum berjihad Nabi melakukan dakwah terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian diminta untuk berperang, maka berperanglah.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Imam adalah tameng.”
Jihad merupakan tugas daulah, bukan tugas individu-individu tertentu, bahkan merupakan tugasnya kalangan khusus dari orang-orang yang paham politik dan para tentara di daulah.
Kami melihat sekarang orang-orang yang menyelisihi manhaj Salaf tentang jihad, mereka lalai terhadap sesuatu yang mampu untuk mereka perbuat dari ilmu, ta’lim, dakwah dan beramar ma’ruf nahi mungkar, justru mereka malah melakukan hal yang tidak mereka sanggupi dari berjihad dan berperang.
Pertanyaan:
Ada tuduhan-tuduhan keji tentang Syaikh yang disebutkan di Internet, seperti Syaikh adalah seorang plagiator, dituduh pencuri (karya ilmiah), berdusta atas nama Ibnu Taimiyyah, mentahrif (mengubah) perkataan ulama, di antaranya seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Faishal Ar-Rajihi dalam buku Al-Fariq bainal Muhaqqiq was Saariq.
Jawaban:
Ini adalah syubhat-syubhat yang lemah. Syubhat-syubhat yang sudah lama. Saya telah membantah Ibnu Faishal Ar-Rajihi 7 atau 8 tahun yang lalu di Internet. Mereka itu seperti pedagang yang bangkrut, mencari-cari pada catatan-catatan lama (barangkali mendapatkan sesuatu yang bisa dijadikan modal untuk menjelek-jelekkan, Pen) seandainya mereka menginginkan kebenaran, niscaya mereka membaca bantahan sebagaimana mereka membaca kritikan, akan tetapi mereka memandang hanya menggunakan satu mata.
Adapun tuduhan pencuri, tentunya maksudnya adalah pencurian karya ilmiah, bukan pencurian harta. Tuduhan ini dibangun di atas kedustaan, di mana dia menuduhku mencuri kitab An-Nihayah karya Ibnul Atsir. Hal tersebut sama sekali tidak benar, saya tidak mengklaim bahwa saya adalah pentahqiqnya, bukan juga penulis atau yang menyebarkannya. Hanya saja ia merupakan hasil upaya sekelompok para penuntut ilmu, yang kemudian aku tuliskan kata pengantar untuk mereka atas usaha mereka. Bagaimana dia berkata saya pentahqiq kitab tersebut padahal tidak, akan tetapi ini merupakan adat kebiasaan pengikut hawa nafsu dahulu dan sekarang, mereka membawa manusia dengan syubhat yang paling rendah.
Adapun tuduhan mengubah perkataan ulama, atau perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, ini juga merupakan perkataan yang batil, saya telah membantahnya tiga kali, bukan hanya sekali saja. Terakhir saya bantah satu setengah tahun yang lalu, dalam kitab saya yang berjudul Al-Hujjatul Qaimah fii Nushrati Al-Lajnah Ad-Daimah, maksud dari makna Nushrah (pertolongan) di sini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tolonglah saudaramu baik yang mendzhalimi atau yang terdzhalimi.”
Pada kitab tersebut saya menggunakan metode baru dan tersendiri, yaitu saya langsung memfotokopi nash-nash dari kitab-kitab secara langsung, tidak saya nukil dengan cara dicetak (seperti biasanya). Kemudian, saya meminta kepada para penuduh untuk mendatangkan (membuktikan) tuduhannya. Mereka menuduh: “Anda telah mengubah-ubah perkataan Ibnu Taimiyyah.” Oleh karena itu saya datangkan langsung perkataan Ibnu Taimiyyah dengan nukilan dari perkataan Ibnu Taimiyyah, tanpa tulisan atau cetakan yang baru, tetapi nukilannya persis sama dengan asalnya, kemudian saya berkata kepada setiap yang berakal, manakah perbedaan yang diklaim tersebut?
Akan tetapi jika hal itu tercampur di atas tuduhan-tuduhan dan syubhat-syubhat semata, maka bagaimana hasilnya? Apa jawabannya? Klaim yang bisa membuat tertawa ibu yang kehilangan anaknya.
(Akhirnya) saya berkata: Apakah yang didakwahkan oleh orang yang melakukan safar untuk mengajarkan diin kepada manusia, setiap tahunnya bisa sampai 5 atau 6 kali di beberapa negeri, baik di Timur atau di Barat?
(Coba perhatikan) apakah kita menyeru kepada kebinasaan, kefasikan, dan kefajiran. Ataukah menyeru kepada firman Allah dan sabda RasulNya?
Lebih baik dari 230 kitab yang sudah ditulis dari risalah sampai kitab berjilid-jilid, apakah isi dari tulisan-tulisan tersebut?
Apa yang kita dakwahkan kepada manusia di sela-sela ribuan durus, ceramah, fatwa, dan makalah yang ada? Bukankah mengajak kepada apa yang Allah turunkan dan kepada sabda Rasulullah?
Apakah yang Allah turunkan (dari kitabNya) dari apa yang kita dakwahkan berbeda dengan apa yang Allah turunkan dari apa yang didakwahkan oleh orang yang menyangkal tersebut?
Sungguh saya bisa pastikan, bahwa tidaklah yang dia maksudkan dari masalah berhukum dengan hukum Allah melainkan pengkafiran terhadap para penguasa (pemimpin), jika inilah definisi dari yang dia maksud tentang berhukum kepada hukum Allah, maka kita tidak menyetujui pengkafiran terhadap para penguasa tersebut dengan pengkafiran secara mutlak, kecuali setelah diperinci dan dengan dasar ilmu. Sebagaimana perkataan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pada akhir kitab Ar-Ruh, beliau berkata: “Berhukum dengan selain hukum Allah adalah hukum mubaddal (hukum yang diubah-ubah), ada yang kafir, ada yang dzhalim, dan ada yang fasik.” Beliau tidak menyamaratakan bagi setiap hukum tersebut menjadi kafir semua.
Berbeda halnya dengan orang ini dan yang serupa dengannya menjadikan semuanya menjadi kafir, mirip dengan Khawarij, saya nyatakan ini semua, dengan tetap menekankan dan menegaskan bahwa berhukum dengan hukum Allah merupakan kewajiban, dan tidak boleh menyepelekannya.
Penutup
Adapun nasehat saya kepada kaum Muslimin dan para da’i agar mengetahui bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memuliakan mereka dengan ilmu, Sunnah, dan hidayah. Ini merupakan kebaikan yang besar wajib untuk dijaga. Dan tidak ada jalan untuk menjaganya melainkan dengan saling nasihat-menasihati, menetapi kebenaran, dan untuk tetap sabar.
Adapun ghuluw (berlebih-lebihan), keras, ekstrim, pembunuhan, dan pengeboman ini, yang pertama: menyelisihi syari’at dan yang kedua: bertolak belakang dengan maslahat. Sebagai contoh, cobalah lihat mereka yang melakukan tindakan-tindakan tersebut, hasilnya adalah penjara, maka faedah apa yang telah mereka berikan untuk diri mereka sendiri, kepada keluarga, masyarakat, dan agama mereka? Tetapi saya katakan sesungguhnya mereka telah memudharatkan diri mereka, keluarga, masyarakat, dan diri mereka sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
وصلّى الله وسلّم وبارك على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أسجمعين وآخر دعوانا أن الحمدلله رب العالمين
Download Nasihat Ulama: Nasihat Syaikh Ali Hasan Al-Halabi untuk Para Pendukung Takfir
Podcast: Play in new window | Download
Mari bantu bagi-bagikan file nasihat ulama ini dan share ke media sosial Anda. Jazakumullahu khoiron
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/4678-nasihat-syaikh-ali-hasan-al-halabi-untuk-para-pendukung-paham-takfir/